Bagaimana pun saya harus pergi.
Bagaimana pun saya harus menghilang. Menjauhi cinta yang ternyata membelenggu
saya. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun.
Kecewa menyeruak dalam dada. Pikiran buntu. Mata ini seperti selalu melihat
kunang-kunang yang beterbangan—entah di mana—laksana mengelilingi tubuh saya
dan pikiran saya.
Saya pun bertanya; “Apakah kematian
akan menjemput saya? Kenapa kunang-kunang itu datang terus—menghantui saya
berhawaktu-waktu, seperti menebar teror?”
Tubuh saya terasa menggigil. Mendadak. Demam atau apalah semacamnya saya tidak
tahu. Namun saya sadar kalau ada sesuatu yang datang menemui saya—entah siapa?
Dalam hati saya bertanya-tanya; apakah kamu, Fika (pacar pertama SMA saya yang
diperkosa anak jalan dan dibunuh dengan tragis, serta mayatnya dimasukkan dalam
tong minyak, lalu dibakar)? Jangan-jangan coba kamu datang dengan wajah barumu?
Saya tidak sudi. Saya tidak bersalah. Sama sekali. Jadi, menjauhlah dariku!
“Mayya?”
Saya tertegun sejenak saat dengan nama itu. Yang ada dipikiran saya hanyalah
sesosok perempuan dengan rantai di kedua tangannya. Dindingnya terbuat dari
besi. Wajahnya muram. Dendam karena tak mampu membunuh semua orang yang telah
menipu orang tuanya.
Jadi, saya kira ini perlakuan Falasifa—pacar saya yang sedang hamil karena
setiap saat saya tusuk mulutnya. Itu pun saya lakukan dengan sadar. Padahal
awalnya dia tidak mau. Tapi yang namanya cinta, kadang memang memaksa mau. Dan
sekarang dia membelenggu saya dengan menagih-nagih atas nama kesetiaan.
Begitukah cinta?
Cuih!!!
Omong kosong dengan cinta. Omong kosong dengan kesetiaan. Cinta dan kesetiaan
itu sama sekali tidak mengekang. Tidak membelenggu para pencintanya. Akan
tetapi memberi pemahaman untuk saling menerima dan menghargai. Kalau saya tidak
setia, memangnya mau apa?
****
Kunang-kunang tetap mengelilingi tubuh saya. Bahkan seperti menyelimuti tubuh
saya. Mendekap tubuh saya. Hingga tubuh saya tampak bercahaya. Anehnya,
orang-orang mulai datang mengerumuni tubuh saya setiap malam. Tubuh saya
dipotret, disentuh, dan dilindungi saat hujan turun.
“Lihat, Ma,” ucap seorang anak, “tubuh orang ini kayak emas.”
“Kayak lampu juga,” ujar lainnya.
“Permata,” pekik yang lain.
Begitulah saya selalu diperhatikan orang-orang karena tubuh bercahaya. Mata
saya bercahaya. Seakan-akan saya ini memang benar cahaya.
“Cahaya, oh, cahaya,” gumam saya, seraya memandang langit.
****
Gadis dengan perut bunting itu datang lagi, menemui saya.
“Apa maksudmu menemui saya lagi?” tanya saya. Tegas.
“Tolong aku.” pekiknya. “Tolong, beri aku pertolongan!”
“Iya, kenapa?”
“Aku jenuh bercinta dengan penantian. Aku jenuh bercinta dengan ketabahan hati.
Aku jenuh. Jenuh! Jenuh!! Jenuh!!!” teriaknya. “Sekarang tolong bunuh aku.
Bunuhlah aku!!”
“Karena bayi di perutmu itu?”
“Bukan.”
“Karena keindahan cinta.”
“Kok?”
“Iya! Seandainya aku tidak tergoda oleh keindahan cinta, jadinya tidak akan
begini kan?!”
Saya diam. Terus diam dan mulai berpikir bahwa kunang-kunang di tubuh saya itu
perlahan mengelupas. Sampai-sampai, karena terlalu banyak kunang-kunang itu
yang mengelupas, kulit dan daging saya pun juga ikut. Bahkan tulang saya pun
seperti terbang dihembus angin. Saat itulah kuku saya menjelma kunang-kunang
yang membuat Falasifa menjerit-jerit—ketakutan—seraya berlari dengan darah
mengalir dari anunya.
SK-Kafe/1/5/2015
Bagikan
KEJENUHAN CINTA DAN ITU SAYA
4/
5
Oleh
Unknown