“Bukan benci yang membuat kita jauh
dengan seseorang, melainkan rasa kecewa.”
Kok saya langsung diam. Lama sekali.
Mencoba merenungi sebuah status diFacebook seorang teman yang tak
terlalu saya kenal kehidupannya. Akibatnya, saya harus membunuh waktu menulis
cerpen di perpustakaan pada suatu siang yang lembab. Di luar langit tampak
gelap. Hanya ada awan hitam yang menggantung sejak tadi, saat saya mulai masuk
perpustakaan. Intinya, status itu adalah kekecewaan!
Memang banyak hal yang perlu kita
pahami dalam hidup ini. Manusia dikarunia sebuah otak tentu bertujuan untuk
berpikir agar bisa membedakan sesuatu yang hitam-putih. Namun kadang kita
terlena sehingga sudah tidak bisa membedakan warna hitam-putih karena mata
sudah tampak rabun, pikiran terasa galau, dan hati sedang tergoncang.
Akibatnya, kecewa.
Kekecewaan memang sudah menjadi
kultur pada diri manusia. Tidak ada satu manusia pun yang tak pernah merasa
kecewa dalam hidupnya. Untuk itu, menghadapi kekecewaan itu beragam caranya.
Siapa yang lebih cepat bangkit, tentu dialah yang memiliki jiwa kuat. Dan siapa
yang masih berlarut-larut dalam kekecewaan, layaknya dirundung rindu yang
mencekam, berarti jiwanya masih rapuh dan kadang harus memerlukan orang lain
untuk membangunkannya lagi. Apalagi soal cinta. Tentu, hal inilah yang kemudian
membujuk seseorang untuk menumpahkan perasaannya pada media sosial yang di
dalamnya ada beribu-ribu mata membacanya.
Oh, tidak. Kalau saya, lebih baik
seperti lirik di bawah ini:
Luangkanlah sejenak detik dalam
hidupmu
Mulai sekarang, berhentilah! Plis, saya tidak kuat membacanya
meski sebenarnya suka. Lebih baik diamlah dalam kurun waktu yang lama.
Berfikirlah dengan bijak. Terutama berfikir, ‘bagaimana jika aku berada dalam
posisi dia, dan bagaimana jika dia berada di posisiku.’ Pertimbangkanlah dengan
matang. Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan. Hingga menemukan titik temu
solusinya. Kemudian bertindaklah! (memutuskan sesuatu). Karena keputusan adalah
jalan terbaik dalam mengatasi masalah dan bersedialah untuk menanggung
akibatnya dengan lapang dada.
Ya, begitulah cara saya dalam menyelesaikan persoalan. Tetaplah tersenyum.
Sembunyikan masalah itu serapat mungkin (kecuali orang kepercayaan) agar tidak
menjadi beban bagi orang lain. Karena dalam kasus di atas itu, saya kena
imbasnya. Saya jadi kepikiran. Terutama jika persoalan itu terjadi dalam diri
saya.
Kalau persoalan dendam itu saya ingat film ‘Rayya: cahaya di atas
cahaya.’ Saya teringat akan sosok Rayya yang begitu dendam pada
pacarnya. Namun yang saya suka sosok Arya. Dia berkata “Aku Arya. Aku
laki-laki biasa. Pekerja rendahan yang sering mengesot dibalik cahaya
lampu-lampu. Aku tidak pernah berhitung berapa perempuan yang aku taklukkan.
Sekedar menjalani kehidupan yang biasa-biasa. Aku beristri, aku berumah tangga,
dan aku punya anak. Andalanku hanyalah kesetiaan sebagai suami dan tanggung
jawab sebagai kepala rumah keluarga. Istriku mempunyai kelebihan dari aku. Ia
sanggup melihat laki-laki lain, karena aku tidak bisa melirik perempuan lain.
Untuk itu aku ambil dua keputusan. Yang pertama, aku tidak akan pernah meratap
sedih dan menangis. Yang kedua, aku akan tetap menegakkan kebenaran,
membeberkannya dan juga akan menegakkan keadilan dan juga keikhlasan.”
Lalu, buat apa kita dendam? Apa
gunanya dendam? Memangnya siapa kita kok,selalu dendam pada orang
yang selama ini telah memberikan kebahagiaan?
[1] Letto: Sejenak
Bagikan
WARNA KEMESRAAN DAN CINTA
4/
5
Oleh
Unknown