Sumber: |
Kumandang adzan Jum’at terdengar di
pelosok kampung. Terik matahari seakan menyeruap ke teras masjid hingga
menerobos tempat imam berada. Terdengar khutbah berkoar-koar layaknya seorang
demonstran. Suaranya lantang, tapi materi dakwahnya membelah umat sehingga
terdengar agak berisik untuk didengar. Seakan tidak ada cara yang lebih cerdas
lagi untuk mengajak masyarakat agar berbuat arif lagi. Sehingga membuat salah
satu pemuda abai akan khotbahnya dan memilih memandang seorang nenek yang
sedang memayungi bayi kecil di atas kereta dorongnya.
Pemuda yang punya inisial ‘Noe’ itu
terus memandang nenek bertubuh bungkuk dan langkah goyahnya. Nenek itu terus
mendorong kereta yang ditumpangi seorang bayi itu. Tak lama, dia berhenti
melangkah seraya menghela napas. Mungkin kehausan. Tapi, entahlah Noe tidak
tahu soal nasib nenek itu.
Terlintas, bagaimana jika nenek itu
adalah wujud dari ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya? Betapa
sedihnya dia seandainya nasib ibunya dulu seperti nenek itu? Betapa besar
jasanya, yang kalau panas seperti hari itu harus memayunginya karena sudah
tidak kuat menggendongnya.
Noe pun hanya diam. Terus diam. Membeku.
Seperti ada gejolak yang sedang terjadi dalam dirinya. Di raut mukanya juga
tampak sekali kemurungan yang tiada terkira. Mungkin dia punya kesalahan besar
pada orang tuanya yang sampai saat ini sangat disesalinya!
Sekelebat sebuah ungkapan muncul diotaknya ‘Manusia
itu jangan menyembah selain Allah dan hendaklah berbuat baik pada ibu bapakmu,’ yang
membuatnya lebih menundukkan kepala lagi. Menyesal.
Namun dia mencerna betul ungkapan itu
dengan berbagai sudut pandang. Sudut pandang pertama, dia beranggapan kalau
ungkapan itu memang selaras dengan pengetahuan orang pada umumnya. Yaitu,
manusia memang tidak boleh menyekutukan Allah dan berbakti pada orang tuanya.
Jika pemahaman yang seperti itu, tentu tidak akan punya daya greget yang
lebih mendalam. Karena dapat dipastikan manusia akan bersikap biasa-biasa saja
karena pemaknaannya juga sederhana. Untuk itu, dia ingin memahaminya lebih dari
yang biasa-biasa saja dengan memakai sudut pandang kedua.
Sudut pandang kedua, dia memahami
kalau dalam ungkapan itu ada kata penghubung ‘dan.’ Itu berarti, ada kaitannya
antara menyembah Allah dan berbuat baik pada orang tuanya. Bahkan dalam
pemahamannya, antara keduanya tidak dapat terpisahkan dan senantiasa selalu
harmonis yang dimiliki. Sehingga dapat disimpulkan, jika seseorang masih
bermasalah dengan orang tuanya, tentu dipastikan hubungannya dengan Allah akan
bermasalah pula. Dan apabila hubungannya dengan Allah baik dan harmonis, tentu
sifat dan sikap yang ditunjukkan pada orang tuanya juga arif.
Dan pada saat itulah Noe baru
mengerti kalau kepatuhan kepada orang tua merupakan cerminan dari ketaatan pada
Tuhannya.
Akhirnya dia pun melirik kembali pada
nenek tua itu. Saat itulah dia menyadari bahwa nenek itu bukanlah manusia. Akan
tetapi malaikat yang sedang mendorong kereta dorong dengan bayi di atasnya.
Dia pun tersenyum, terus tersenyum sambil melihat kehadiran
malaikat yang turun disela-sela puncak ambisi seorang da'i dalam menyampaikan
khotbahnya. Sesekali dia melihat para jama’ah yang beberapa orang tampak
terlelap dirayu setan. Namun saat dia melihat kembali ke arah nenek itu,
ternyata sudah tiada. Kemana dia? tanyanya dalam hati.
Jogja, 2015
Bagikan
MALAIKAT BESERTA KERETA DORONGNYA
4/
5
Oleh
Unknown