Suatu saat seorang gadis pernah
berkata, “Terimaksih
sudah menjadikanku satu-satunya cahaya dalam hidupmu. Semoga bukan hanya cahaya
tapi cahaya di atas cahaya.”
Langsung saya kaget. Bagaimana
mungkin manusia biasa bisa menjadi cahaya? Apalagi cahaya di atas cahaya.
Sungguh perkataannya mengandung kontra dengan pemikiran saya selama ini dalam
memahami cahaya. Karena apa yang dimaksud cahaya, bukanlah sebuah materi atau
pun ruh. Akan tetapi merupakan sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata dan
hanya tampak ketika ada benda yang tertimpa cahaya.
Lama sama terdiam dalam kamar yang
lembab dan udara sedang tidak beraksi di sana. Mata saya tertuju pada jendela
yang membuka pandangan pada langit. Pikiranku terus menerka-nerka, bagaimana
mungkin manusia itu menjadi cahaya, sementara cahaya itu tidak berwujud? Apa
jadinya kalau manusia itu tidak berwujud?
Ah, ini benar-benar tidak masuk akal.
Hunjam hati saya memikirkan persoalan antara manusia dan cahaya. Gundah diri
dalam terang. Walau pun sebenarnya diri ini memang masih gelap.
Malamnya, dalam hening dan sunyi yang
mencekam, saya terbangun dari mimpi-mimpi malam. Dalam perjalanan mengambil
wudhu, pikiran itu kembali datang menghantui saya.
“Cahaya oh, cahaya,” gumam saya
seraya tersenyum. “Bagaimana mungkin manusia bisa menjadi cahaya? Apalagi
cahaya di atas cahaya.”
Tak lama saya berdiri di kamar,
rukuk, dan bersujud. Dalam keheningan, saat sujud, saya seperti terbang ke
angkasa. Saya seperti seorang astraunut yang melayang-melayang dan menyadari
kekerdilannya di ruang tak terhingga dengan segala kemegahannya. Tubuh saya
tiba-tiba bergetar dan bulu kuduk terasa merinding.
“Allah maha besar,” batin saya
terucap dalam getaran yang luar biasa. “Ya, kekasih, bagaimana mungkin
kekecilanku hendak menakar kebesaran-Mu. Bagaimana mungkin kesementaraanku
hendak menjangkau keabadian-Mu. Bagaimana mungkin kenisbianku hendak menghitung
kemutlakan-Mu.”[1]
Bergidik tubuh saya. Air mata
meleleh. Isak terasa terdengar seperti tragis. Seperti mengambang di langit
kamar. Berputar-putar. Dalam sunyi, saya tersadar bahwa sesungguhnya identitas
manusia yang berupa harkat, martabat, karir, ilmu, dan status pribadinya
senantiasa bersujud. Ambruk di tanah. Serendah-rendahnya, dengan menyentuhkan
wajah yang merupakan lambang diri dan pribadinya dengan tanah.
Ingatan saya pun tertuju pada
pertanyaan seseorang; bagaimana Rasulullah tahu bahwa seseorang itu
umatnya ketika di akhirat? Tentu saya mendapati jawaban, dengan cahaya yang
memancar dari wajah dan matanya. Dan cahaya itu dihasilkan dari air wudhu dan min
atsaris sujud berkat tradisi sujud.[2]
Kalau saya membayangkannya, pertemuan
antara Rasulullah dan umatnya itu adalah pertemuan cahaya. Sebagaimana cahaya
itu merupakan interpretasi dari shalat. Karena shalat itu substansi dari
pencahayaan. Selain itu, mungkin kalau kelak manusia mencapai pengetahuan baru
tentang cahaya, dunia akan lebih bersujud, rendah hati, dan menunduk atas
kekuasaan Tuhan Yang Agung.
Sambil menoleh kekanan dan kekiri,
pikiranku masih bertanya-tanya; kenapa gadis itu melabelkan dirinya
sebagai cahaya? Apa maksud cahaya menurutnya?
Saya terdiam dalam seribu pertanyaan
di kepala.
Paginya, saya lihat gadis bertubuh
ramping dan berkacamata itu duduk terdiam memandangi mentari pagi. Senyumnya
berbunga. Indah sekali. Di tangannya ada kamera yang setiap kali mampu
mengabadikan suasana pagi itu.
Saya segera mendekatinya, sekaligus
menanyakan soal perkataannya tentang cahaya. Tak lama saya duduk di sampingnya.
“Apa maksud cahaya dari perkataanmu
itu?” tanyaku. “Dan kenapa kamu melabelkan diri sebagai cahaya, bahkan cahaya
di atas cahaya?”
Dia tersenyum sambil melirik padaku.
“Apa?” kejarku dengan pertanyaan.
“Apa kamu malu?”
Dia masih diam. Sekali memotret
pemandangan indah itu.
“Tidak. Saya tidak malu.”
“Lantas, kenapa kamu masih diam?”
“Ini soal diri saya.”
“Kenapa memangnya diri kamu?”
“Saya ingin menjadi cahaya yang mampu
menyinari alam sekitar saya.”
“Maksudmu bermanfaat pada orang
lain?”
“Iya semuanya. Manusia, tumbuhan, atau
makhluk lain.”
“Sama,” kata saya dengan jujur.
Dia menoleh. Begitu kaget atas ucapan
saya.
[1] Emha Ainun Najib, Slilit
Sang Kiai. Mizan, cet II Februari 2014, hal. 82
[2] Ibid. hal. 83
Bagikan
TERGILA-GILANYA SEORANG GADIS PADA CAHAYA
4/
5
Oleh
Unknown