Sabtu, 26 Desember 2015

TERGILA-GILANYA SEORANG GADIS PADA CAHAYA

id.tubgit.com
Suatu saat seorang gadis pernah berkata, Terimaksih sudah menjadikanku satu-satunya cahaya dalam hidupmu. Semoga bukan hanya cahaya tapi cahaya di atas cahaya.
Langsung saya kaget. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa menjadi cahaya? Apalagi cahaya di atas cahaya. Sungguh perkataannya mengandung kontra dengan pemikiran saya selama ini dalam memahami cahaya. Karena apa yang dimaksud cahaya, bukanlah sebuah materi atau pun ruh. Akan tetapi merupakan sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata dan hanya tampak ketika ada benda yang tertimpa cahaya.
Lama sama terdiam dalam kamar yang lembab dan udara sedang tidak beraksi di sana. Mata saya tertuju pada jendela yang membuka pandangan pada langit. Pikiranku terus menerka-nerka, bagaimana mungkin manusia itu menjadi cahaya, sementara cahaya itu tidak berwujud? Apa jadinya kalau manusia itu tidak berwujud?
Ah, ini benar-benar tidak masuk akal. Hunjam hati saya memikirkan persoalan antara manusia dan cahaya. Gundah diri dalam terang. Walau pun sebenarnya diri ini memang masih gelap.
Malamnya, dalam hening dan sunyi yang mencekam, saya terbangun dari mimpi-mimpi malam. Dalam perjalanan mengambil wudhu, pikiran itu kembali datang menghantui saya.
“Cahaya oh, cahaya,” gumam saya seraya tersenyum. “Bagaimana mungkin manusia bisa menjadi cahaya? Apalagi cahaya di atas cahaya.”
Tak lama saya berdiri di kamar, rukuk, dan bersujud. Dalam keheningan, saat sujud, saya seperti terbang ke angkasa. Saya seperti seorang astraunut yang melayang-melayang dan menyadari kekerdilannya di ruang tak terhingga dengan segala kemegahannya. Tubuh saya tiba-tiba bergetar dan bulu kuduk terasa merinding.
“Allah maha besar,” batin saya terucap dalam getaran yang luar biasa. “Ya, kekasih, bagaimana mungkin kekecilanku hendak menakar kebesaran-Mu. Bagaimana mungkin kesementaraanku hendak menjangkau keabadian-Mu. Bagaimana mungkin kenisbianku hendak menghitung kemutlakan-Mu.”[1]
Bergidik tubuh saya. Air mata meleleh. Isak terasa terdengar seperti tragis. Seperti mengambang di langit kamar. Berputar-putar. Dalam sunyi, saya tersadar bahwa sesungguhnya identitas manusia yang berupa harkat, martabat, karir, ilmu, dan status pribadinya senantiasa bersujud. Ambruk di tanah. Serendah-rendahnya, dengan menyentuhkan wajah yang merupakan lambang diri dan pribadinya dengan tanah.
Ingatan saya pun tertuju pada pertanyaan seseorang; bagaimana Rasulullah tahu bahwa  seseorang itu umatnya ketika di akhirat? Tentu saya mendapati jawaban, dengan cahaya yang memancar dari wajah dan matanya. Dan cahaya itu dihasilkan dari air wudhu dan min atsaris sujud berkat tradisi sujud.[2]
Kalau saya membayangkannya, pertemuan antara Rasulullah dan umatnya itu adalah pertemuan cahaya. Sebagaimana cahaya itu merupakan interpretasi dari shalat. Karena shalat itu substansi dari pencahayaan. Selain itu, mungkin kalau kelak manusia mencapai pengetahuan baru tentang cahaya, dunia akan lebih bersujud, rendah hati, dan menunduk atas kekuasaan Tuhan Yang Agung.
Sambil menoleh kekanan dan kekiri, pikiranku masih bertanya-tanya; kenapa gadis itu melabelkan dirinya sebagai cahaya? Apa maksud cahaya menurutnya?
Saya terdiam dalam seribu pertanyaan di kepala.
Paginya, saya lihat gadis bertubuh ramping dan berkacamata itu duduk terdiam memandangi mentari pagi. Senyumnya berbunga. Indah sekali. Di tangannya ada kamera yang setiap kali mampu mengabadikan suasana pagi itu.
Saya segera mendekatinya, sekaligus menanyakan soal perkataannya tentang cahaya. Tak lama saya duduk di sampingnya.
“Apa maksud cahaya dari perkataanmu itu?” tanyaku. “Dan kenapa kamu melabelkan diri sebagai cahaya, bahkan cahaya di atas cahaya?”
Dia tersenyum sambil melirik padaku.
“Apa?” kejarku dengan pertanyaan. “Apa kamu malu?”
Dia masih diam. Sekali memotret pemandangan indah itu.
“Tidak. Saya tidak malu.”
“Lantas, kenapa kamu masih diam?”
“Ini soal diri saya.”
“Kenapa memangnya diri kamu?”
“Saya ingin menjadi cahaya yang mampu menyinari alam sekitar saya.”
“Maksudmu bermanfaat pada orang lain?”
“Iya semuanya. Manusia, tumbuhan, atau makhluk lain.”
“Sama,” kata saya dengan jujur.
Dia menoleh. Begitu kaget atas ucapan saya.
  



[1] Emha Ainun Najib, Slilit Sang Kiai. Mizan, cet II Februari 2014, hal. 82

[2] Ibid. hal. 83

Bagikan

Jangan lewatkan

TERGILA-GILANYA SEORANG GADIS PADA CAHAYA
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.