Sabtu, 16 Januari 2016

Gelandangan di Bumi Tuhan


          Namanya Kirana. Bukan Kirana Larasati. Cukup, Kirana. Dia gadis biasa yang tak punya cita-cita untuk berbuat apapun pada negerinya dan memang hanya ingin sekadar hidup sebagai seorang gelandangan di tanah kelahirannya. Kebutuhannya akan negara sangat kecil. Bahkan tak pernah merasa butuh akan hal itu sehingga sampai saat ini dia sama sekali tidak menggunakan haknya sebagai warna negara yang baik.
          Setiap hari dia bekerja membantu keluarganya mencari nafkah dengan sangat bekerja keras. Saat orang-orang masih terlelap dalam tidur nyeyaknya, dia bersama ibunya bangun dan bersegera menyiapkan kacang tanah yang masih terbungkus di sebuah karung. Lalu dia membasuhnya, dan memasaknya dengan target waktu, sebelum subuh harus sudah selesai. Sebab kalau tidak selesai waktu subuh, maka target mengedarkannya ke pasar-pasar yang ada di kotanya akan terlambat. Ditakutkan pula, akan mengurangi pendapatan keluarganya.
          Maka ketika menjelang subuh, dia pun mengayuh sepeda onthel-nya dengan kantong plastik hitam agak besar di belakangnya. Di dalam kantong itu, sudah ada beberapa bungkusan kecil lagi yang nantinya akan disetor kepada para pedagang langganannya dan banyaknya pun menyesuaikan permintaan. Sehingga kadang kalau pasar sepi, turunlah pendapatannya.
          Dia terus mengayun sepedanya dengan napas terengah-engah. Tak pernah terlintas di benaknya mengenai asas demokrasi, Pancasila, maupun butiran undang-undang dasar yang menjadi anutan bangsanya. Padahal tiga hal itu, kata banyak orang sangat dibutuhkan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Akan tetapi dia merasa kurang perlu dengan hal itu, sehingga hak untuk mengenyam pendidikan pun tidak digunakan.
          “Kirana, Kirana,” seru beberapa orang berpendidikan, yang merasa kasihan padanya karena tidak mau untuk sekolah.
          Bahkan banyak dari teman-teman sebayanya bertanya padanya, “Kirana kenapa tidak sekolah?”
          Kirana hanya diam.
          “Kirana tidak punya biaya ya untuk sekolah?”
          Mendengar teman-teman sebayangnya sering bertanya seperti itu, dia memilih diam dan langsung menghindar. Lalu dia pulang ke rumahnya dengan menemui ibunya.
          “Ibu, memangnya salah ya, kalau kiranya memilih untuk tidak bersekolah?”
          “Tidak salah, Nak. Itu hanya pilihan.” Ibunya sepertinya mengerti maksud anaknya. “Kamu mau sekolah?”
          Kirana menggeleng.
          “Loh, kenapa?”
          “Aku ingat kata-kata, Pak Tua, di pinggir jalan itu, Bu.”
          “Oh, ya sudah.”
          Suatu saat, dia memang pernah bertemu dengan lelaki tua yang satu orang pun tak tahu nama dan asalnya. Orang itu pekerjaannya hanya sebagai pemulung di jalanan dan mengumpulkan banyak bekas untuk disetor ke pengepul. Berdasarkan informasi dari banyak orang, dia tak pernah menghitung harga barangnya dan tak pernah meminta untuk dihargai. Dia hanya menerima uang berdasarkan kerelaan si pengepul. Bahkan kalau pun tidak dibayar, dia akan tetap menyetor barang bekas itu. Ketika ditanya, dia hanya menjawab.
          “Saya cuma ingin kota ini bersih,” jawabnya.
          Dari orang itulah Kirana sehari-hari belajar hidup. Belajar menerima keadaan dengan rendah hati, dan berusaha untuk tidak kecewa pada apapun.
          Kirana terus menerjang sepeda onthel-nya. Udara terasa masih segar. Langit perlahan mulai benderang. Pasar demi pasar pun, dia singgahi untuk menyetorkan dagangannya. Bungkusan kecil itu pun lama-lama mulai berkurang, dan pagi selalu menyambutnya dengan cahaya mentari hangatnya. Keringat pun mulai bercucuran. Namun senyumnya pun terus tumpuh. Dia seperti tak punya beban dalam hidup. Dia bahagia tentunya. Lantas, kehidupan seperti apa lagi yang diharapkannya?
****
          Di tengah jalan, tiba-tiba bumi berguncang hebat. Berkali-kali. Orang-orang pun berteriak dan dalam beberapa saat, banyak bangunan pun seketika hancur. Ini gempa, gerutunya. Pikirannya tertuju pada dua orang yang sangat berjasa dalam hidupnya.
          “Ibu,” serunya. “Pak Tua.”
          Dia tahu, kalau ibunya sedang istirahat setiap habis subuh. Ibunya sedang menderita batuk dan sering sekali mengalami pendarahan. Sudah setahun ini dideritanya. Sedangkan Pak Tua itu, ketika pagi, selalu terlelap di bawah jembatan yang di dekatnya mengalir sungai.
          Dengan rasa getirnya, dia membelokkan sepeda onthel-nya ke arah rumahnya. Di jalanan, dia terus menemukan tangisan orang-orang yang baru merasa kehilangan. Dadanya gempar, dan ingin cepat-cepat sampai di rumahnya. Namun tiba-tiba rantainya putus karena terlalu keras akibat terjangan kakinya. Dia pun akhirnya berlari sembari menuntun sepedanya, yang di belakangnya masih terlihat sisa dagangannya.
          Udara mulai panas. Jalanan telah ditempuhnya dalam jarak beberapa kilo. Keringatnya berhamburan membasahi bajunya. Namun ketika hampir di rumahnya, dia melihat ibunya termenung sendiri yang sedang memandang tempat berteduhnya hancur. Seketika, senyumnya pun tumbuh melihat sosok ibunya yang selamat.
          Dia pun langsung berlari dan memeluknya. Keduanya pun tampak riang, karena masih diberi kesempatan untuk terus bersama. Namun di sela-sela pelukan itu, Ibunya berseru.
          “Bagaimana ini, Nak?”
          Kirana hanya diam melihat rumahnya hancur. Rupanya dia merasa terpukul oleh pertanyaan ibunya. Banyak yang dia pikirkan. Soal tempat istirahat, pengobatan, barang, dan tentunya uang untuk ibunya. Karena dia sadar bahwa semua yang diwariskan oleh ayahnya telah tiada. Dalam diam dia beruhasa untuk tenang.
****
Pak Tua itu, ternyata juga selamat. Dia menemukan kembali sehari setelah bencana itu melanda. Lantas, keduanya pun berbincang-bincang.
“Bagaimana kabar, Ibumu?” tanya Pak Tua itu.
“Masih di pengungsian. Di sana dia difasilitasi oleh orang-orang yang baru datang membantu.”
“Rumahmu?”
“Hancur.”
“Kata Ibumu bagaimana?”
“Dia tidak meminta-minta apapun. Cuma aku khawatir, kita tidak punya tempat tinggal. Kalau aku, tentu tidak masalah. Tapi Ibu, dia sedang sakit.”
“Kamu tidak mendengar kalau ada bantuan pembangunan rumah dari pemerintah?”
“Belum.”
“Itu dikhususkan buat penduduk yang rumahnya hancur.”
“Oh,” balasnya. “Kakek sendiri?”
“Aku kan tidak punya kartu warga negara. Jadi, aku tidak berhak mendapatkannya.”
“Kenapa tidak buat, Kek?”
“Nanti aku disangka peminta-peminta. Warga negara yang baik itu kan, bukan yang peminta-minta, tapi pemberi.”
“Terus, Kakek mau tinggal di mana?”
“Kan sudah tahu sendiri kalau aku hidup gelandangan. Di mana pun akan jadi rumahku. Atapku ya, langit. Lantaiku ya, bumi.”
“Kalau dilarang, Kek?”
“Cuma dilarang manusia ya, tidak apa-apa. Yang penting bukan Tuhan pelarangnya. Tuhan itu lebih sayang dan paling memerhatikan profesi Kakek ini, dibanding manusia.”
“Kakek mau terus jadi gelandangan?”
“Iya. Karena Kakek merasa profesi ini baik,” tegasnya. “Meski merasa tak dianggap oleh banyak orang, tapi Kakek akan tetap bahagia. Bukankah kebahagiaan yang semua orang cari?”
Kirana pun lantas terhanyut dalam ucapan lelaki tua itu. Dia kembali menaiki sepeda onthel-nya dan mengayuhnya menuju tempat evakuasi korban bencana. Sesampai di sana, dia mendengar kabar kalau ibunya sudah tiada. Kata orang, batuknya kambuh yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong. Banyak yang bilang pula, karena tenaga medis tidak segera membantunya karena kekurangan alat.
Sontak dia merasa sangat terpukul. Mulai saat itulah dia mengikuti langkah lelaki tua itu, yang tak akan pernah mengakui dirinya sebagai warga negara (Zainuddin Muza).

Jogja, 17 Januari 2016   
Sumber gambar : jakartakita.com

Bagikan

Jangan lewatkan

Gelandangan di Bumi Tuhan
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.