Namanya Kirana. Bukan Kirana Larasati.
Cukup, Kirana. Dia gadis biasa yang tak punya cita-cita untuk berbuat apapun
pada negerinya dan memang hanya ingin sekadar hidup sebagai seorang gelandangan
di tanah kelahirannya. Kebutuhannya akan negara sangat kecil. Bahkan tak pernah
merasa butuh akan hal itu sehingga sampai saat ini dia sama sekali tidak menggunakan
haknya sebagai warna negara yang baik.
Setiap hari dia bekerja membantu
keluarganya mencari nafkah dengan sangat bekerja keras. Saat orang-orang masih
terlelap dalam tidur nyeyaknya, dia bersama ibunya bangun dan bersegera menyiapkan
kacang tanah yang masih terbungkus di sebuah karung. Lalu dia membasuhnya, dan
memasaknya dengan target waktu, sebelum subuh harus sudah selesai. Sebab kalau
tidak selesai waktu subuh, maka target mengedarkannya ke pasar-pasar yang ada
di kotanya akan terlambat. Ditakutkan pula, akan mengurangi pendapatan
keluarganya.
Maka ketika menjelang subuh, dia pun
mengayuh sepeda onthel-nya dengan kantong plastik hitam agak besar di
belakangnya. Di dalam kantong itu, sudah ada beberapa bungkusan kecil lagi yang
nantinya akan disetor kepada para pedagang langganannya dan banyaknya pun
menyesuaikan permintaan. Sehingga kadang kalau pasar sepi, turunlah
pendapatannya.
Dia terus mengayun sepedanya dengan
napas terengah-engah. Tak pernah terlintas di benaknya mengenai asas demokrasi,
Pancasila, maupun butiran undang-undang dasar yang menjadi anutan bangsanya. Padahal
tiga hal itu, kata banyak orang sangat dibutuhkan sebagai pandangan hidup
berbangsa dan bernegara. Akan tetapi dia merasa kurang perlu dengan hal itu,
sehingga hak untuk mengenyam pendidikan pun tidak digunakan.
“Kirana, Kirana,” seru beberapa orang berpendidikan,
yang merasa kasihan padanya karena tidak mau untuk sekolah.
Bahkan banyak dari teman-teman
sebayanya bertanya padanya, “Kirana kenapa tidak sekolah?”
Kirana hanya diam.
“Kirana tidak punya biaya ya untuk
sekolah?”
Mendengar teman-teman sebayangnya
sering bertanya seperti itu, dia memilih diam dan langsung menghindar. Lalu dia
pulang ke rumahnya dengan menemui ibunya.
“Ibu, memangnya salah ya, kalau
kiranya memilih untuk tidak bersekolah?”
“Tidak salah, Nak. Itu hanya pilihan.”
Ibunya sepertinya mengerti maksud anaknya. “Kamu mau sekolah?”
Kirana menggeleng.
“Loh, kenapa?”
“Aku ingat kata-kata, Pak Tua, di
pinggir jalan itu, Bu.”
“Oh, ya sudah.”
Suatu saat, dia memang pernah bertemu
dengan lelaki tua yang satu orang pun tak tahu nama dan asalnya. Orang itu
pekerjaannya hanya sebagai pemulung di jalanan dan mengumpulkan banyak bekas
untuk disetor ke pengepul. Berdasarkan informasi dari banyak orang, dia tak
pernah menghitung harga barangnya dan tak pernah meminta untuk dihargai. Dia
hanya menerima uang berdasarkan kerelaan si pengepul. Bahkan kalau pun tidak
dibayar, dia akan tetap menyetor barang bekas itu. Ketika ditanya, dia hanya
menjawab.
“Saya cuma ingin kota ini bersih,”
jawabnya.
Dari orang itulah Kirana sehari-hari
belajar hidup. Belajar menerima keadaan dengan rendah hati, dan berusaha untuk
tidak kecewa pada apapun.
Kirana terus menerjang sepeda onthel-nya.
Udara terasa masih segar. Langit perlahan mulai benderang. Pasar demi pasar
pun, dia singgahi untuk menyetorkan dagangannya. Bungkusan kecil itu pun
lama-lama mulai berkurang, dan pagi selalu menyambutnya dengan cahaya mentari
hangatnya. Keringat pun mulai bercucuran. Namun senyumnya pun terus tumpuh. Dia
seperti tak punya beban dalam hidup. Dia bahagia tentunya. Lantas, kehidupan seperti
apa lagi yang diharapkannya?
****
Di tengah jalan, tiba-tiba bumi
berguncang hebat. Berkali-kali. Orang-orang pun berteriak dan dalam beberapa
saat, banyak bangunan pun seketika hancur. Ini gempa, gerutunya. Pikirannya
tertuju pada dua orang yang sangat berjasa dalam hidupnya.
“Ibu,” serunya. “Pak Tua.”
Dia tahu, kalau ibunya sedang
istirahat setiap habis subuh. Ibunya sedang menderita batuk dan sering sekali
mengalami pendarahan. Sudah setahun ini dideritanya. Sedangkan Pak Tua itu, ketika
pagi, selalu terlelap di bawah jembatan yang di dekatnya mengalir sungai.
Dengan rasa getirnya, dia membelokkan
sepeda onthel-nya ke arah rumahnya. Di jalanan, dia terus menemukan tangisan orang-orang
yang baru merasa kehilangan. Dadanya gempar, dan ingin cepat-cepat sampai di
rumahnya. Namun tiba-tiba rantainya putus karena terlalu keras akibat terjangan
kakinya. Dia pun akhirnya berlari sembari menuntun sepedanya, yang di belakangnya
masih terlihat sisa dagangannya.
Udara mulai panas. Jalanan telah
ditempuhnya dalam jarak beberapa kilo. Keringatnya berhamburan membasahi
bajunya. Namun ketika hampir di rumahnya, dia melihat ibunya termenung sendiri
yang sedang memandang tempat berteduhnya hancur. Seketika, senyumnya pun tumbuh
melihat sosok ibunya yang selamat.
Dia pun langsung berlari dan
memeluknya. Keduanya pun tampak riang, karena masih diberi kesempatan untuk terus
bersama. Namun di sela-sela pelukan itu, Ibunya berseru.
“Bagaimana ini, Nak?”
Kirana hanya diam melihat rumahnya
hancur. Rupanya dia merasa terpukul oleh pertanyaan ibunya. Banyak yang dia
pikirkan. Soal tempat istirahat, pengobatan, barang, dan tentunya uang untuk
ibunya. Karena dia sadar bahwa semua yang diwariskan oleh ayahnya telah tiada. Dalam
diam dia beruhasa untuk tenang.
****
Pak Tua itu, ternyata juga selamat. Dia menemukan
kembali sehari setelah bencana itu melanda. Lantas, keduanya pun
berbincang-bincang.
“Bagaimana kabar, Ibumu?” tanya Pak Tua itu.
“Masih di pengungsian. Di sana dia difasilitasi oleh
orang-orang yang baru datang membantu.”
“Rumahmu?”
“Hancur.”
“Kata Ibumu bagaimana?”
“Dia tidak meminta-minta apapun. Cuma aku khawatir,
kita tidak punya tempat tinggal. Kalau aku, tentu tidak masalah. Tapi Ibu, dia
sedang sakit.”
“Kamu tidak mendengar kalau ada bantuan pembangunan
rumah dari pemerintah?”
“Belum.”
“Itu dikhususkan buat penduduk yang rumahnya hancur.”
“Oh,” balasnya. “Kakek sendiri?”
“Aku kan tidak punya kartu warga negara. Jadi, aku
tidak berhak mendapatkannya.”
“Kenapa tidak buat, Kek?”
“Nanti aku disangka peminta-peminta. Warga negara yang
baik itu kan, bukan yang peminta-minta, tapi pemberi.”
“Terus, Kakek mau tinggal di mana?”
“Kan sudah tahu sendiri kalau aku hidup gelandangan. Di
mana pun akan jadi rumahku. Atapku ya, langit. Lantaiku ya, bumi.”
“Kalau dilarang, Kek?”
“Cuma dilarang manusia ya, tidak apa-apa. Yang penting
bukan Tuhan pelarangnya. Tuhan itu lebih sayang dan paling memerhatikan profesi
Kakek ini, dibanding manusia.”
“Kakek mau terus jadi gelandangan?”
“Iya. Karena Kakek merasa profesi ini baik,” tegasnya. “Meski
merasa tak dianggap oleh banyak orang, tapi Kakek akan tetap bahagia. Bukankah
kebahagiaan yang semua orang cari?”
Kirana pun lantas terhanyut dalam ucapan lelaki tua
itu. Dia kembali menaiki sepeda onthel-nya dan mengayuhnya menuju tempat evakuasi
korban bencana. Sesampai di sana, dia mendengar kabar kalau ibunya sudah tiada.
Kata orang, batuknya kambuh yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong. Banyak
yang bilang pula, karena tenaga medis tidak segera membantunya karena
kekurangan alat.
Sontak dia merasa sangat terpukul. Mulai saat itulah
dia mengikuti langkah lelaki tua itu, yang tak akan pernah mengakui dirinya
sebagai warga negara (Zainuddin Muza).
Jogja, 17 Januari 2016
Sumber
gambar : jakartakita.com
Bagikan
Gelandangan di Bumi Tuhan
4/
5
Oleh
Unknown