Sabtu, 26 Desember 2015

SUATU ARAH DALAM BERPIKIR

www.sundayobserver.lk
Dalam sebuah perkumpulan kecil-kecilan di halaman kampus itu, ada pernyataan yang agak menyindir salah satu di antara mereka. Peryataan itu lahir karena salah satu di antara mereka sudah mengecam-ngecam paling benar—seakan orang lain salah semua. Satu mahasiswa itu berkata dalam pernyataannya.
“Sebenarnya ada tidak sih, batas-batas kebenaran itu? Kok kita selalu berkata bahwa pendapat kita paling benar? Kok kita selalu merasa tingkah laku kita yang paling benar? Kok kita selalu merasa agama kita yang paling benar? Seolah-olah, kalah benar itu menempel pada ‘saya,’ sedangkan kalau ‘kamu/orang lain’ pasti salah. Kok kita yang selalu memandang orang lain dan tidak pernah menilah diri sendiri?” serunya, sambil menikmati snack. “Benar tidak sih, kita itu egois? Bagaimana caranya kita hidup berdampingan dan damai begitu, tanpa mengklaim-klaim ini benar atau salah?”
Di antara mereka langsung terkejut dengan perkataan temannya itu. Seakan-akan pertanyaan-pertanyaan itu mampu sebagai pengingat bahwasanya diri mereka selalu melakukan klaim-klaim kebenaran dan kesalahan. Sehingga tidak heran kalau ada yang di antara mereka hanya mengangguk-angguk dan mendongakkan kepala sebagai bentuk dari kesadarannya.
Keadaan tampak masih beku. Semilir angin berhembus seakan menyelimuti tubuh mereka. Masing-masing dari mereka tampak masih berpikir, bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Begini,” ucap salah satu dari mereka, sambil meneguk minuman berwarna orangedi hadapannya. “Dalam kerangka berfikir itu ada fasenya, sebagaimana sejarawan telah mengelompokkan menjadi empat. Ini rada-rada filsafat ya, meski aku juga bukan jurusan filsafat. Tidak apa-apa kan?”
“Silahkan saja,” yang lain menyetujui untuk melanjutkan.
“Baiklah,” ucapnya. Mantap. “Kita mulai dari pemikiran filsafat Yunani Kuno. Kalau misalnya ada orang yang berfikir tentang siapa diri saya? Saya ingin tahu siapa diri saya sebenarnya? Sebab, ada ungkapan yang sangat popular menyebutkan ‘barang siapa yang mengetahui dirinya, maka dia akan kenal Tuhannya’ sehingga untuk mencari pengetahuan tentang diri itu, seperti menggebu-gebu. Kemudian juga jika ada pertanyaan soal dunia itu diciptakan dari apa? Bagaimana awan itu bisa berpindah? Bagaimana bumi itu ada gaya gravitasi, yang pokoknya mempertanyakan soal penciptaan alam, berarti seseorang itu masih berpikir seperti Aristoteles, Plato, Thales dsb. Dan itu sudah berabad tahun yang lalu. Anggaplah bisa dikatakan orang itu daya berpikirnya masih kuno.”
Dia melanjutkan sambil menghela napas. “Terus, ada abad pertengahan yang selalu memunculkan perseteruan antara rasio dengan wahyu, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas. Jadi, kita kan sering berkata ‘ndak, pokoknya ini benar’ dengan berlandaskan logika, namun setelah dihadapkan pada wahyu semacam Al-Qur’an berubah menjadi ‘Loh, ini salah. Soalnya Al-Qur’an sudah mengatakan begini,’ maka perseteruan semacam ini bisa dibilang pemikiran abad pertengahan, kalau bahasa lainnya zaman kegelapan.”
“Nah, yang selanjutnya ini yang sesuai dengan pertanyaan kamu tadi.” Dia menunjuk temannya tadi. “Kalau misalnya ada orang yang mengecam diri saya paling benar, pendapat saya terbenar, agama saya paling benar, seakan yang lainnya tidak, maka bisa dikatakan orang itu masuk dalam pemikiran abad modern. Pokoknya, jika ada seseorang yang sifatnya selalu mengklaim-klaim, berarti dia orang modern, yang itu katanya mampu menyelesaikan persoalan.”

“Tapi, yang paling menarik ini postmoderen. Orang yang berpikiran postmoderen ini biasanya selalu mengkritik orang modern. Misalnya, apakah iya Negara yang sistemnya demokrasi, liberal, monarkhi, khilafah, dsb. itu mampu mengatasi segala persoalan? Apakah benar orang yang selalu mengecam orang lain itu salah, dan berarti posisinya lebih baik dari orang yang dikecamnya? Apakah benar orang miskin itu menderita dan orang kaya itu bahagia? Dsb.” Dia terdiam sejenak. “Ya, kita sebagai manusia hanya bisa memilih. Apa kita masih memakai pikiran orang Yunani kuno, abad pertengahan, modern, atau postmodern, terserah. Yang penting, dalam berkata atau bersikap apapun, pertimbangkanlah matang-matang. Begitu!”

Bagikan

Jangan lewatkan

SUATU ARAH DALAM BERPIKIR
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.