Dalam sebuah perkumpulan
kecil-kecilan di halaman kampus itu, ada pernyataan yang agak menyindir salah
satu di antara mereka. Peryataan itu lahir karena salah satu di antara mereka
sudah mengecam-ngecam paling benar—seakan orang lain salah semua. Satu
mahasiswa itu berkata dalam pernyataannya.
“Sebenarnya ada tidak sih,
batas-batas kebenaran itu? Kok kita selalu berkata bahwa pendapat kita paling
benar? Kok kita selalu merasa tingkah laku kita yang paling benar? Kok kita
selalu merasa agama kita yang paling benar? Seolah-olah, kalah benar itu
menempel pada ‘saya,’ sedangkan kalau ‘kamu/orang lain’ pasti salah. Kok kita
yang selalu memandang orang lain dan tidak pernah menilah diri sendiri?”
serunya, sambil menikmati snack. “Benar tidak sih, kita itu egois? Bagaimana
caranya kita hidup berdampingan dan damai begitu, tanpa mengklaim-klaim ini
benar atau salah?”
Di antara mereka langsung terkejut
dengan perkataan temannya itu. Seakan-akan pertanyaan-pertanyaan itu mampu
sebagai pengingat bahwasanya diri mereka selalu melakukan klaim-klaim kebenaran
dan kesalahan. Sehingga tidak heran kalau ada yang di antara mereka hanya
mengangguk-angguk dan mendongakkan kepala sebagai bentuk dari kesadarannya.
Keadaan tampak masih beku. Semilir
angin berhembus seakan menyelimuti tubuh mereka. Masing-masing dari mereka
tampak masih berpikir, bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Begini,” ucap salah satu dari
mereka, sambil meneguk minuman berwarna orangedi hadapannya. “Dalam
kerangka berfikir itu ada fasenya, sebagaimana sejarawan telah mengelompokkan
menjadi empat. Ini rada-rada filsafat ya, meski aku juga bukan jurusan
filsafat. Tidak apa-apa kan?”
“Silahkan saja,” yang lain menyetujui
untuk melanjutkan.
“Baiklah,” ucapnya. Mantap. “Kita
mulai dari pemikiran filsafat Yunani Kuno. Kalau misalnya ada orang yang
berfikir tentang siapa diri saya? Saya ingin tahu siapa diri saya sebenarnya?
Sebab, ada ungkapan yang sangat popular menyebutkan ‘barang siapa yang
mengetahui dirinya, maka dia akan kenal Tuhannya’ sehingga untuk
mencari pengetahuan tentang diri itu, seperti menggebu-gebu. Kemudian juga jika
ada pertanyaan soal dunia itu diciptakan dari apa? Bagaimana awan itu bisa
berpindah? Bagaimana bumi itu ada gaya gravitasi, yang pokoknya mempertanyakan
soal penciptaan alam, berarti seseorang itu masih berpikir seperti Aristoteles,
Plato, Thales dsb. Dan itu sudah berabad tahun yang lalu. Anggaplah bisa
dikatakan orang itu daya berpikirnya masih kuno.”
Dia melanjutkan sambil menghela
napas. “Terus, ada abad pertengahan yang selalu memunculkan perseteruan antara
rasio dengan wahyu, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas. Jadi, kita kan sering
berkata ‘ndak, pokoknya ini benar’ dengan berlandaskan logika, namun setelah
dihadapkan pada wahyu semacam Al-Qur’an berubah menjadi ‘Loh, ini salah.
Soalnya Al-Qur’an sudah mengatakan begini,’ maka perseteruan semacam ini bisa
dibilang pemikiran abad pertengahan, kalau bahasa lainnya zaman kegelapan.”
“Nah, yang selanjutnya ini yang
sesuai dengan pertanyaan kamu tadi.” Dia menunjuk temannya tadi. “Kalau
misalnya ada orang yang mengecam diri saya paling benar, pendapat saya
terbenar, agama saya paling benar, seakan yang lainnya tidak, maka bisa
dikatakan orang itu masuk dalam pemikiran abad modern. Pokoknya, jika ada
seseorang yang sifatnya selalu mengklaim-klaim, berarti dia orang modern, yang
itu katanya mampu menyelesaikan persoalan.”
“Tapi, yang paling menarik ini
postmoderen. Orang yang berpikiran postmoderen ini biasanya selalu mengkritik orang
modern. Misalnya, apakah iya Negara yang sistemnya demokrasi, liberal,
monarkhi, khilafah, dsb. itu mampu mengatasi segala persoalan? Apakah benar
orang yang selalu mengecam orang lain itu salah, dan berarti posisinya lebih
baik dari orang yang dikecamnya? Apakah benar orang miskin itu menderita dan
orang kaya itu bahagia? Dsb.” Dia terdiam sejenak. “Ya, kita sebagai manusia
hanya bisa memilih. Apa kita masih memakai pikiran orang Yunani kuno, abad
pertengahan, modern, atau postmodern, terserah. Yang penting, dalam berkata
atau bersikap apapun, pertimbangkanlah matang-matang. Begitu!”
Bagikan
SUATU ARAH DALAM BERPIKIR
4/
5
Oleh
Unknown