Jumat, 01 Juni 2018

Lama Tak Jumpa

Lama Tak Jumpa

"Jangan melihat keluar. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan carilah itu."

- Jalaluddin Rumi -

Aku tertegun membaca tulisan itu di layar smartphone-ku. Sementara imajiku bertebaran kemana-mana, mengingat diriku. Diriku yang kulihat dari luar. Diriku yang kulihat dari dalam.

Aku mencoba untuk mencari. Siapa diriku dari luar? Siapa diriku dari dalam? Aku benar-benar mencari. Barangkali aku bisa menemukan diriku dengan sejujur-jujurnya dan setulus-tulusnya. 

Image result for lama tak jumpa
Sumber Gambar di Keterangan Gambar

Aku menjeda tulisan ini, lalu terlentang memandangi langit-langit kamar. Memang tidak mudah untuk berpikir jernih sambil merenung. Sebab aku bukan diriku yang dulu. Harus kujelaskan bagian ini dulu, begini ceritanya.

Aku mengetahui diriku bahwa dulu suka menulis. Menjadi seorang yang suka menulis itu tidak mudah. Butuh banyak waktu untuk mencari ketenangan. Butuh banyak waktu untuk menikmati keindahan. Butuh banyak waktu untuk berpikir. Untuk itulah aku suka berjalan kaki. Menikmati perjalan dan sembari terus memahami situasi sekitar. Aku juga suka naik sepada, ke kampus, sebab diriku yang seperti itu bisa melakukan pemahaman akan keadaan. Sehingga aku dengan leluasa memandangi langit. Aku leluasa menikmati udara. Menikmati hiruk-pikuk jalanan. Sehingga aku benar-benar bisa berpikir dengan jernih untuk mengetahui diriku.

Aku akhiri cerita masa lalu itu ya. Sekarang begini ceritanya.

Aku benar-benar berhenti menulis ketika tidak bisa menyelesaikan sebuah novel. Itu kisah yang pertama. Namun kisah yang paling memisahkan diriku dengan aktivitas menulis adalah saat aku bergelut di dunia bisnis. Dunia bisnis mengajarkan diriku untuk selalu bergerak, sibuk, dan terus berpikir dengan segudang rencana, pekerjaan, dan target. Setiap hari selalu ada tantangan, rintangan, dan tentunya pikiran yang tidak menentu. Bagi pemula, tentu takkan mudah. Sebab berbisnis jauh lebih beresiko dibandingkan menulis untuk menembus sebuah media cetak maupun penerbitan. Meskipun sebenarnya aku paham kalau itu sama-sama membangun sebuah mental yang kuat. Namun yang jelas berbisnis adalah jalan terjal dan membutuhkan mental kuat untuk menjalaninya, sehingga dalam keadaan apapun aku tidak punya banyak waktu untuk berpikir jernih, apalagi tentang siapa diriku dari luar. Siapa diriku dari dalam.

Aku kembali ke meja, mulai menulis kembali di layar laptop. Kuteruskan ceritanya, mengenai diriku yang bisa berpikir jernih kembali di tengah sibuknya membangun sebuah bisnis. Ini sebenarnya tidak bisa aku ungkapkan. Namun karena psikologi nitizen yang selalu bertanya ketika ada cerita yang menggantung, akhirnya kuungkap saja.

Aku kembali pada suatu waktu di mana aku bisa berjalan kembali. Melihat cakrawala. Melihat sawah yang luas. Dedaunan. Jalanan yang berumput. Hingga membuatku benar-benar merasa tenang kembali. Aku berpikir kala itu, situasi itulah yang membuatku bisa lari dari kesibukan bisnis yang tak berhenti-hentinya mengurangi tingkat kebahagiaan dan ketenanganku. 

Aku berjalan menelusuri jalanan sawah. Kadang bisa berdua, bertiga, berempat, dan bertujuh dengan teman-temanku. Disitulah aku bisa melihat diriku dari dalam. Disitulah aku bisa melihat diriku dari luar. Aku selalu mencurahkan cerita tentang diriku. Aku mengenalkan diriku padanya. Hingga tiba saatnya aku menemukan ketenangan saat cerita bersamanya yang mungkin takkan kusebut dalam cerita ini namanya.

Aku bisa menyaksikan keasyikan diriku ketika mengenalkan diriku padanya. Diriku dari dalam. Diriku dari luar. Begitu pula dengannya. Berdua dengannya, itu terus saja mengalir siang dan malam. Aku mengingat, kita bisa jalan bersama. Aku mengingat, kita berkendara bersama. Aku mengingat, kita bercanda di Swalayan. Aku mengingat, kita memesan martabak. Aku mengingat, kita menonton film bersama. Aku mengingat, kita masak bersama. Aku mengingat, kita bicara berdua malam-malam. Aku mengingat, berbincang berdua di siang-siang. Aku mengingat, kita mengenalkan diri di tempat makan di bukit yang berbintang. Aku mengingat, kita liburan ke pantai. Aku mengingat, kita naik kereta bersama. Sampai akhirnya aku kecewa dengan peristiwa yang tidak kuinginkan terjadi. Aku muak dengan peristiwa itu. Yang membuatku kembali pada masa-masa tak punya waktu untuk mengetahui siapa diriku dari dalam. Siapa diriku dari luar. Aku sangat menyesal hal itu terjadi.

Aku hanya bisa menahan ego. Waktu memang tidak bisa diputar. Namun kesempatan kemungkinan selalu ada. Yang jelas, aku butuh mengetahui diriku dari dalam. Diriku dari luar. Disitulah aku selalu berpikir tentangnya.

Aku memang sudah lama membatin. Benih-benih rindu yang kukumpulkan setiap hari kian membesar. Maka tak heran ketika aku pernah berpapasan dengannya, itu takkan hilang hingga seminggu kemudian. Malamku diikat rindu yang mencekam hingga urusan pekerjaan menghapuskannya kembali. 

Aku ingin mengakhiri cerita ini karena waktu sudah larut. Jadi kesimpulannya, aku ingin kembali mengetahui diriku dari dalam. Diriku dari luar. Sebab itulah kejujuran dan setulus-tulusnya manusia.

Yogyakarta, 02 Juni 2018 Pukul 01.43  

  
Baca selengkapnya

Sabtu, 16 Januari 2016

Gelandangan di Bumi Tuhan


          Namanya Kirana. Bukan Kirana Larasati. Cukup, Kirana. Dia gadis biasa yang tak punya cita-cita untuk berbuat apapun pada negerinya dan memang hanya ingin sekadar hidup sebagai seorang gelandangan di tanah kelahirannya. Kebutuhannya akan negara sangat kecil. Bahkan tak pernah merasa butuh akan hal itu sehingga sampai saat ini dia sama sekali tidak menggunakan haknya sebagai warna negara yang baik.
          Setiap hari dia bekerja membantu keluarganya mencari nafkah dengan sangat bekerja keras. Saat orang-orang masih terlelap dalam tidur nyeyaknya, dia bersama ibunya bangun dan bersegera menyiapkan kacang tanah yang masih terbungkus di sebuah karung. Lalu dia membasuhnya, dan memasaknya dengan target waktu, sebelum subuh harus sudah selesai. Sebab kalau tidak selesai waktu subuh, maka target mengedarkannya ke pasar-pasar yang ada di kotanya akan terlambat. Ditakutkan pula, akan mengurangi pendapatan keluarganya.
          Maka ketika menjelang subuh, dia pun mengayuh sepeda onthel-nya dengan kantong plastik hitam agak besar di belakangnya. Di dalam kantong itu, sudah ada beberapa bungkusan kecil lagi yang nantinya akan disetor kepada para pedagang langganannya dan banyaknya pun menyesuaikan permintaan. Sehingga kadang kalau pasar sepi, turunlah pendapatannya.
          Dia terus mengayun sepedanya dengan napas terengah-engah. Tak pernah terlintas di benaknya mengenai asas demokrasi, Pancasila, maupun butiran undang-undang dasar yang menjadi anutan bangsanya. Padahal tiga hal itu, kata banyak orang sangat dibutuhkan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Akan tetapi dia merasa kurang perlu dengan hal itu, sehingga hak untuk mengenyam pendidikan pun tidak digunakan.
          “Kirana, Kirana,” seru beberapa orang berpendidikan, yang merasa kasihan padanya karena tidak mau untuk sekolah.
          Bahkan banyak dari teman-teman sebayanya bertanya padanya, “Kirana kenapa tidak sekolah?”
          Kirana hanya diam.
          “Kirana tidak punya biaya ya untuk sekolah?”
          Mendengar teman-teman sebayangnya sering bertanya seperti itu, dia memilih diam dan langsung menghindar. Lalu dia pulang ke rumahnya dengan menemui ibunya.
          “Ibu, memangnya salah ya, kalau kiranya memilih untuk tidak bersekolah?”
          “Tidak salah, Nak. Itu hanya pilihan.” Ibunya sepertinya mengerti maksud anaknya. “Kamu mau sekolah?”
          Kirana menggeleng.
          “Loh, kenapa?”
          “Aku ingat kata-kata, Pak Tua, di pinggir jalan itu, Bu.”
          “Oh, ya sudah.”
          Suatu saat, dia memang pernah bertemu dengan lelaki tua yang satu orang pun tak tahu nama dan asalnya. Orang itu pekerjaannya hanya sebagai pemulung di jalanan dan mengumpulkan banyak bekas untuk disetor ke pengepul. Berdasarkan informasi dari banyak orang, dia tak pernah menghitung harga barangnya dan tak pernah meminta untuk dihargai. Dia hanya menerima uang berdasarkan kerelaan si pengepul. Bahkan kalau pun tidak dibayar, dia akan tetap menyetor barang bekas itu. Ketika ditanya, dia hanya menjawab.
          “Saya cuma ingin kota ini bersih,” jawabnya.
          Dari orang itulah Kirana sehari-hari belajar hidup. Belajar menerima keadaan dengan rendah hati, dan berusaha untuk tidak kecewa pada apapun.
          Kirana terus menerjang sepeda onthel-nya. Udara terasa masih segar. Langit perlahan mulai benderang. Pasar demi pasar pun, dia singgahi untuk menyetorkan dagangannya. Bungkusan kecil itu pun lama-lama mulai berkurang, dan pagi selalu menyambutnya dengan cahaya mentari hangatnya. Keringat pun mulai bercucuran. Namun senyumnya pun terus tumpuh. Dia seperti tak punya beban dalam hidup. Dia bahagia tentunya. Lantas, kehidupan seperti apa lagi yang diharapkannya?
****
          Di tengah jalan, tiba-tiba bumi berguncang hebat. Berkali-kali. Orang-orang pun berteriak dan dalam beberapa saat, banyak bangunan pun seketika hancur. Ini gempa, gerutunya. Pikirannya tertuju pada dua orang yang sangat berjasa dalam hidupnya.
          “Ibu,” serunya. “Pak Tua.”
          Dia tahu, kalau ibunya sedang istirahat setiap habis subuh. Ibunya sedang menderita batuk dan sering sekali mengalami pendarahan. Sudah setahun ini dideritanya. Sedangkan Pak Tua itu, ketika pagi, selalu terlelap di bawah jembatan yang di dekatnya mengalir sungai.
          Dengan rasa getirnya, dia membelokkan sepeda onthel-nya ke arah rumahnya. Di jalanan, dia terus menemukan tangisan orang-orang yang baru merasa kehilangan. Dadanya gempar, dan ingin cepat-cepat sampai di rumahnya. Namun tiba-tiba rantainya putus karena terlalu keras akibat terjangan kakinya. Dia pun akhirnya berlari sembari menuntun sepedanya, yang di belakangnya masih terlihat sisa dagangannya.
          Udara mulai panas. Jalanan telah ditempuhnya dalam jarak beberapa kilo. Keringatnya berhamburan membasahi bajunya. Namun ketika hampir di rumahnya, dia melihat ibunya termenung sendiri yang sedang memandang tempat berteduhnya hancur. Seketika, senyumnya pun tumbuh melihat sosok ibunya yang selamat.
          Dia pun langsung berlari dan memeluknya. Keduanya pun tampak riang, karena masih diberi kesempatan untuk terus bersama. Namun di sela-sela pelukan itu, Ibunya berseru.
          “Bagaimana ini, Nak?”
          Kirana hanya diam melihat rumahnya hancur. Rupanya dia merasa terpukul oleh pertanyaan ibunya. Banyak yang dia pikirkan. Soal tempat istirahat, pengobatan, barang, dan tentunya uang untuk ibunya. Karena dia sadar bahwa semua yang diwariskan oleh ayahnya telah tiada. Dalam diam dia beruhasa untuk tenang.
****
Pak Tua itu, ternyata juga selamat. Dia menemukan kembali sehari setelah bencana itu melanda. Lantas, keduanya pun berbincang-bincang.
“Bagaimana kabar, Ibumu?” tanya Pak Tua itu.
“Masih di pengungsian. Di sana dia difasilitasi oleh orang-orang yang baru datang membantu.”
“Rumahmu?”
“Hancur.”
“Kata Ibumu bagaimana?”
“Dia tidak meminta-minta apapun. Cuma aku khawatir, kita tidak punya tempat tinggal. Kalau aku, tentu tidak masalah. Tapi Ibu, dia sedang sakit.”
“Kamu tidak mendengar kalau ada bantuan pembangunan rumah dari pemerintah?”
“Belum.”
“Itu dikhususkan buat penduduk yang rumahnya hancur.”
“Oh,” balasnya. “Kakek sendiri?”
“Aku kan tidak punya kartu warga negara. Jadi, aku tidak berhak mendapatkannya.”
“Kenapa tidak buat, Kek?”
“Nanti aku disangka peminta-peminta. Warga negara yang baik itu kan, bukan yang peminta-minta, tapi pemberi.”
“Terus, Kakek mau tinggal di mana?”
“Kan sudah tahu sendiri kalau aku hidup gelandangan. Di mana pun akan jadi rumahku. Atapku ya, langit. Lantaiku ya, bumi.”
“Kalau dilarang, Kek?”
“Cuma dilarang manusia ya, tidak apa-apa. Yang penting bukan Tuhan pelarangnya. Tuhan itu lebih sayang dan paling memerhatikan profesi Kakek ini, dibanding manusia.”
“Kakek mau terus jadi gelandangan?”
“Iya. Karena Kakek merasa profesi ini baik,” tegasnya. “Meski merasa tak dianggap oleh banyak orang, tapi Kakek akan tetap bahagia. Bukankah kebahagiaan yang semua orang cari?”
Kirana pun lantas terhanyut dalam ucapan lelaki tua itu. Dia kembali menaiki sepeda onthel-nya dan mengayuhnya menuju tempat evakuasi korban bencana. Sesampai di sana, dia mendengar kabar kalau ibunya sudah tiada. Kata orang, batuknya kambuh yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong. Banyak yang bilang pula, karena tenaga medis tidak segera membantunya karena kekurangan alat.
Sontak dia merasa sangat terpukul. Mulai saat itulah dia mengikuti langkah lelaki tua itu, yang tak akan pernah mengakui dirinya sebagai warga negara (Zainuddin Muza).

Jogja, 17 Januari 2016   
Sumber gambar : jakartakita.com

Baca selengkapnya

Sabtu, 26 Desember 2015

KETIKA GELAP KETIKA TERANG

elysusanti.com
Realitas kehidupan memang sebuah penderitaan. Penderitaan yang sama sekali tidak disadari dan disesali sebagai bentuk untuk melakukan penyembuhan diri dari segala kehinaan. Kehinaan yang dihasilkan dari prilaku-prilaku kurang ajar, brengsek, dan sampai-sampai nilai-nilai kemanusiaan dilampaui dalam kekejaman manusia. Manusia yang sudah lupa akan Tuhannya. Tuhannya seakan telah membuangnya sehingga menjadikan dirinya hanya seonggok daging yang bernyawa dan tiada punya manfaat bagi alam maupun sesamanya. Naudzubillah, semoga kita tidak termasuk orang yang seperti ini.
Untuk itu, apa yang perlu dilakukan sekadar untuk mengetahui diri ini hina atau nggak?
Lalu, berdiamlah. Sejenak saja. Lihatlah sekelilingmu. Apa yang berharga dari suasana di sekitarmu? Renungkanlah kalau kamu sedang berada di sebuah tempat yang gelap, kelam, dan tiada cahaya memancar. Mulai perlahan, tanyalah pada angin, udara, dan benda-benda yang ada di sekitarmu bahwa ada seseorang hatinya lembut dan senantiasa dia lari realitas lingkungannya yang kotor. Lingkungannya yang sesak akan kemaksiatan. Dan dia berdiam di sebuah ruangan gelap itu yang bernama gunung cahaya(Jabal Nur).
Ya, dialah Muhammad SAW yang membenamkan dirinya dalam khusuk dan mulai merenungkan tentang arti keberadaan semesta dan hakikat di balik penciptaannya. Dia bertafakkur memikirkan penciptaan dan tujuan seperti apa kiranya yang diinginkan semuanya, termasuk kedudukan sebagai khalifah (peminpin) di muka bumi.
Maka, beberapa hal yang dapat kita ambil bahwa penyucian diri untuk melepas dari belenggu-belenggu realitas hina, tentu cara kesepian memang sangat dianjur. Karena kesepian, bukan berarti dirinya jomblo dan tak memiliki seorang kekasih. Untuk itu, janganlah pernah merasa galau dalam kesepian. Isilah kesepianmu dengan bercinta-kasih, menyulut kerinduan, dan senantiasa berlama-lamalah dengan menyungkurkan kepala pada lantai. Pahamilah semua yang sudah kamu lakukan; terutama keburukanmu yang membuat hatimu berlubang. Lalu tamballah hati berlubang itu dengan rasa syukur dan menyerahkan segenap jiwa-ragamu untung Sang Kekasih yang senantiasa selalu menunggu kerinduanmu setiap waktu.
Terakhir, mari kita mulai dari detik ini. Buktikan bahwa kita ini adalah manusia-manusia yang memiliki cahaya. Cahaya yang mampu menerangi lingkungan sekitarnya.

(Ditulis  pada suatu waktu yang suasananya masih gelap—sebelum cahaya 23/1/2015)
Baca selengkapnya

KEJENUHAN CINTA DAN ITU SAYA

moeslimonline.com
Bagaimana pun saya harus pergi. Bagaimana pun saya harus menghilang. Menjauhi cinta yang ternyata membelenggu saya. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun. Kecewa menyeruak dalam dada. Pikiran buntu. Mata ini seperti selalu melihat kunang-kunang yang beterbangan—entah di mana—laksana mengelilingi tubuh saya dan pikiran saya.
Saya pun bertanya; “Apakah kematian akan menjemput saya? Kenapa kunang-kunang itu datang terus—menghantui saya berhawaktu-waktu, seperti menebar teror?”
            Tubuh saya terasa menggigil. Mendadak. Demam atau apalah semacamnya saya tidak tahu. Namun saya sadar kalau ada sesuatu yang datang menemui saya—entah siapa? Dalam hati saya bertanya-tanya; apakah kamu, Fika (pacar pertama SMA saya yang diperkosa anak jalan dan dibunuh dengan tragis, serta mayatnya dimasukkan dalam tong minyak, lalu dibakar)? Jangan-jangan coba kamu datang dengan wajah barumu? Saya tidak sudi. Saya tidak bersalah. Sama sekali. Jadi, menjauhlah dariku!
            “Mayya?”
            Saya tertegun sejenak saat dengan nama itu. Yang ada dipikiran saya hanyalah sesosok perempuan dengan rantai di kedua tangannya. Dindingnya terbuat dari besi. Wajahnya muram. Dendam karena tak mampu membunuh semua orang yang telah menipu orang tuanya.
            Jadi, saya kira ini perlakuan Falasifa—pacar saya yang sedang hamil karena setiap saat saya tusuk mulutnya. Itu pun saya lakukan dengan sadar. Padahal awalnya dia tidak mau. Tapi yang namanya cinta, kadang memang memaksa mau. Dan sekarang dia membelenggu saya dengan menagih-nagih atas nama kesetiaan. Begitukah cinta?
            Cuih!!!
            Omong kosong dengan cinta. Omong kosong dengan kesetiaan. Cinta dan kesetiaan itu sama sekali tidak mengekang. Tidak membelenggu para pencintanya. Akan tetapi memberi pemahaman untuk saling menerima dan menghargai. Kalau saya tidak setia, memangnya mau apa?
****
            Kunang-kunang tetap mengelilingi tubuh saya. Bahkan seperti menyelimuti tubuh saya. Mendekap tubuh saya. Hingga tubuh saya tampak bercahaya. Anehnya, orang-orang mulai datang mengerumuni tubuh saya setiap malam. Tubuh saya dipotret, disentuh, dan dilindungi saat hujan turun.
            “Lihat, Ma,” ucap seorang anak, “tubuh orang ini kayak emas.”
            “Kayak lampu juga,” ujar lainnya.
            “Permata,” pekik yang lain.
            Begitulah saya selalu diperhatikan orang-orang karena tubuh bercahaya. Mata saya bercahaya. Seakan-akan saya ini memang benar cahaya.
            “Cahaya, oh, cahaya,” gumam saya, seraya memandang langit.
****
            Gadis dengan perut bunting itu datang lagi, menemui saya.
            “Apa maksudmu menemui saya lagi?” tanya saya. Tegas.
            “Tolong aku.” pekiknya. “Tolong, beri aku pertolongan!”
            “Iya, kenapa?”
            “Aku jenuh bercinta dengan penantian. Aku jenuh bercinta dengan ketabahan hati. Aku jenuh. Jenuh! Jenuh!! Jenuh!!!” teriaknya. “Sekarang tolong bunuh aku. Bunuhlah aku!!”
            “Karena bayi di perutmu itu?”
            “Bukan.”
            “Karena keindahan cinta.”
            “Kok?”
            “Iya! Seandainya aku tidak tergoda oleh keindahan cinta, jadinya tidak akan begini kan?!”
            Saya diam. Terus diam dan mulai berpikir bahwa kunang-kunang di tubuh saya itu perlahan mengelupas. Sampai-sampai, karena terlalu banyak kunang-kunang itu yang mengelupas, kulit dan daging saya pun juga ikut. Bahkan tulang saya pun seperti terbang dihembus angin. Saat itulah kuku saya menjelma kunang-kunang yang membuat Falasifa menjerit-jerit—ketakutan—seraya berlari dengan darah mengalir dari anunya.


SK-Kafe/1/5/2015
Baca selengkapnya

SEMBUNYI DARI SEMUA YANG ADA PADAMU

www.katabijakbahasainggris.com
Lagu lembut kian mengalun dari earphone yang saya dengar. Semilir angin berhembus hingga rasa dingin terasa. Awan hitam yang berjalan di angkasa itu terus berarak dibawa angin, seakan mengabarkan kepada saya bahwa sebentar lagi hujan akan turun.  “Kenapa memang kalau hujan turun?” ucap saya dalam hati.    
Tak ada yang menjawab. Lagu terus mengalun lembut di telinga. Saya tersenyum meski dipaksa. Bagaimana pun saya merasa aneh pada seseorang. Tapi mendengar lagu itu, bulu kuduk saya merinding.
Rambutmu
Matamu
Bibirmu, kurindu
Senyummu
Candamu
Tawamu, kurindu[1]
Benar. Kabar awan tadi memang benar bahwa tak lama memang hujan turun. Diawali dengan gerimis halus, hingga lebat. Saya lihat dari lantai empat bangunan ini tampak jalanan berkabut. Seperti ada asap yang sedang menyelimuti segala bangunan, pepohonan, maupun kendaraan.
Namun itu semua seakan menjadi pemandangan eksotik di mata saja. Sementara hati saya bergejolak. Kencang sekali. Dirundung rindu. Gara-gara seseorang yang selalu diam dan membeku. Sehingga membuat sepanjang waktu saya diwarnai dengan segala pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya?      
Apa yang tersembunyi dibalik manis senyummu?
Apa yang tersembunyi dibalik bening dua matamu?[2]
Lagu berganti dengan cepat. Tak sempat kuulang lagu rindu itu. Lirik selanjutnya mengajak pikiran saya untuk berpikir lebih dalam lagi. Membuat hati saya semakin bergejolak. Bagaimana pun, saya menyaksikan seseorang itu sedang tersenyum dan matanya berkaca-kaca. Namun dalam bayangan saya saja.
Ada jarak di antara kita selimuti sekian waktu yang tersita
Ingin kuhilang jarak terbentang. Semoga…
Saya sadar bahwa atas kebungkamannya itu membuat jarak di antara kami akan semakin terasa. Saya juga sadar kembali bahwa kami memang punya jarak. Jarak yang tak bisa kami paksakan untuk dekat. Hanya hatilah yang membuat jarak itu hilang atau pun sirna. Ya, dalam hati saya hanya mengucapkan, “semoga saja…”
Buat apa kau diam saja?
Bicaralah, agar aku semakin tahu
Warna dirimu duhai permata
Kau mimpiku aku tak bohong
Sekian kau kira seperti yang selalu kau duga
Pintahku kau percayalah. Usahkan…
Kekhawatiran saya memuncak, setelah lirik lagu ‘jangan tutup dirimu’ itu terdengar mengalun mesra. Meski alunannya membuat gundah gulana. Bagaimana pun, saya tidak ingin hal itu terjadi. Puncak ketakutan saya terjadi. Hunjam rasanya. Tapi, saya tidak boleh punya firasat kurang baik. Sebab, itu akan menghancurkan diri saya.
Jangan tutup dirimu[3]



[1] Rindu, Iwan Fals
[2] Antara aku, kau, dan pacarmu, Iwan Fals

[3] Jangan tutup dirimu, Iwan Fals
Baca selengkapnya

TERGILA-GILANYA SEORANG GADIS PADA CAHAYA

id.tubgit.com
Suatu saat seorang gadis pernah berkata, Terimaksih sudah menjadikanku satu-satunya cahaya dalam hidupmu. Semoga bukan hanya cahaya tapi cahaya di atas cahaya.
Langsung saya kaget. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa menjadi cahaya? Apalagi cahaya di atas cahaya. Sungguh perkataannya mengandung kontra dengan pemikiran saya selama ini dalam memahami cahaya. Karena apa yang dimaksud cahaya, bukanlah sebuah materi atau pun ruh. Akan tetapi merupakan sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata dan hanya tampak ketika ada benda yang tertimpa cahaya.
Lama sama terdiam dalam kamar yang lembab dan udara sedang tidak beraksi di sana. Mata saya tertuju pada jendela yang membuka pandangan pada langit. Pikiranku terus menerka-nerka, bagaimana mungkin manusia itu menjadi cahaya, sementara cahaya itu tidak berwujud? Apa jadinya kalau manusia itu tidak berwujud?
Ah, ini benar-benar tidak masuk akal. Hunjam hati saya memikirkan persoalan antara manusia dan cahaya. Gundah diri dalam terang. Walau pun sebenarnya diri ini memang masih gelap.
Malamnya, dalam hening dan sunyi yang mencekam, saya terbangun dari mimpi-mimpi malam. Dalam perjalanan mengambil wudhu, pikiran itu kembali datang menghantui saya.
“Cahaya oh, cahaya,” gumam saya seraya tersenyum. “Bagaimana mungkin manusia bisa menjadi cahaya? Apalagi cahaya di atas cahaya.”
Tak lama saya berdiri di kamar, rukuk, dan bersujud. Dalam keheningan, saat sujud, saya seperti terbang ke angkasa. Saya seperti seorang astraunut yang melayang-melayang dan menyadari kekerdilannya di ruang tak terhingga dengan segala kemegahannya. Tubuh saya tiba-tiba bergetar dan bulu kuduk terasa merinding.
“Allah maha besar,” batin saya terucap dalam getaran yang luar biasa. “Ya, kekasih, bagaimana mungkin kekecilanku hendak menakar kebesaran-Mu. Bagaimana mungkin kesementaraanku hendak menjangkau keabadian-Mu. Bagaimana mungkin kenisbianku hendak menghitung kemutlakan-Mu.”[1]
Bergidik tubuh saya. Air mata meleleh. Isak terasa terdengar seperti tragis. Seperti mengambang di langit kamar. Berputar-putar. Dalam sunyi, saya tersadar bahwa sesungguhnya identitas manusia yang berupa harkat, martabat, karir, ilmu, dan status pribadinya senantiasa bersujud. Ambruk di tanah. Serendah-rendahnya, dengan menyentuhkan wajah yang merupakan lambang diri dan pribadinya dengan tanah.
Ingatan saya pun tertuju pada pertanyaan seseorang; bagaimana Rasulullah tahu bahwa  seseorang itu umatnya ketika di akhirat? Tentu saya mendapati jawaban, dengan cahaya yang memancar dari wajah dan matanya. Dan cahaya itu dihasilkan dari air wudhu dan min atsaris sujud berkat tradisi sujud.[2]
Kalau saya membayangkannya, pertemuan antara Rasulullah dan umatnya itu adalah pertemuan cahaya. Sebagaimana cahaya itu merupakan interpretasi dari shalat. Karena shalat itu substansi dari pencahayaan. Selain itu, mungkin kalau kelak manusia mencapai pengetahuan baru tentang cahaya, dunia akan lebih bersujud, rendah hati, dan menunduk atas kekuasaan Tuhan Yang Agung.
Sambil menoleh kekanan dan kekiri, pikiranku masih bertanya-tanya; kenapa gadis itu melabelkan dirinya sebagai cahaya? Apa maksud cahaya menurutnya?
Saya terdiam dalam seribu pertanyaan di kepala.
Paginya, saya lihat gadis bertubuh ramping dan berkacamata itu duduk terdiam memandangi mentari pagi. Senyumnya berbunga. Indah sekali. Di tangannya ada kamera yang setiap kali mampu mengabadikan suasana pagi itu.
Saya segera mendekatinya, sekaligus menanyakan soal perkataannya tentang cahaya. Tak lama saya duduk di sampingnya.
“Apa maksud cahaya dari perkataanmu itu?” tanyaku. “Dan kenapa kamu melabelkan diri sebagai cahaya, bahkan cahaya di atas cahaya?”
Dia tersenyum sambil melirik padaku.
“Apa?” kejarku dengan pertanyaan. “Apa kamu malu?”
Dia masih diam. Sekali memotret pemandangan indah itu.
“Tidak. Saya tidak malu.”
“Lantas, kenapa kamu masih diam?”
“Ini soal diri saya.”
“Kenapa memangnya diri kamu?”
“Saya ingin menjadi cahaya yang mampu menyinari alam sekitar saya.”
“Maksudmu bermanfaat pada orang lain?”
“Iya semuanya. Manusia, tumbuhan, atau makhluk lain.”
“Sama,” kata saya dengan jujur.
Dia menoleh. Begitu kaget atas ucapan saya.
  



[1] Emha Ainun Najib, Slilit Sang Kiai. Mizan, cet II Februari 2014, hal. 82

[2] Ibid. hal. 83
Baca selengkapnya

MALAIKAT DAN BINTANG JATUH

www.youtube.com
Untukmu Farrah…
Namaku Revaldo. Lelaki biasa, yang selalu mengagumimu sejak 15 bulan yang lalu. Kelebihanku hanyalah setia, dan kadang-kadang aku suka menuliskanmu dalam ceritaku. Mengingatmu dalam setiap langkah, meski kau tak mungkin menganggapku bukan siapa-siapa. Dan aku memang bukan siapa-siapa.
Malam ini aku hanya ingin mengirimkanmu pesan—bersama langkahmu yang kian menjauh dariku. Tapi, rindu takkan pernah hilang. Dengarkan baik-baik kata-kata ini, Farrah—sebagai teman perjalananmu:
“Aku cinta kamu, Farrah. Cintaku sedalam atlantik, segede kapal Titanic. Kalau kamu nggak percaya, lebih baik aku nekat bunuh diri di sungai Musi dan arwahku akan gentayangan ke rumahmu tiap malam minggu.”[1]  
Kau dengarkan? Kalau kamu belum dengar, bacalah buku yang ada dalam tasmu. Habiskanlah buku itu. Lalu, pahamilah posisiku yang memang-memang diam-diam menyimpan rasa untukmu. Dan hanya malam inilah aku akan mengatakannya.
***
Bersama malam yang semakin larut. Bersama lampu-lampu jalanan yang kian menghiasi wajah kota. Bersama langit kelam yang meruntuhkan hujan. Lihatlah di kanan kirimu, langit tampak gelap. Dan aku ingin menjadi bintang yang jatuh di rebahanmu—senantiasa memberi cahaya dalam gelapmu.
Lihatlah di jendela bus yang menggigil, akan selalu ada malaikat-malaikat yang beterbangan dengan sayap-sayap indahnya. Malaikat-malaikat itu selalu memerhatikanmu dan kian selalu menjaga perjalananmu.
Tahukah kamu tentang malaikat itu, Farrah? Mereka itu adalah pesuruhku, yang sepanjang perjalanan siap menjagamu. Lantas, apakah kamu masih berkata seperti ini?
“Kamu mungkin belum tahu, dalam hidup ini gue punya pendirian. Begini-begini, gue tetap seorang muslimah yang harus menjaga nama baik. Dan menurutku, pacaran bukanlah sebuah tindakan yang baik. Kalau gue nekat pacaran juga, itu berarti gue akan merusak citra muslimah sedunia! Berarti gue egois! Apalagi, masa depan hubungan yang namanya pacaran itu tak pernah jelas manfaat dan tujuannya. Gue minta lu ngerti.”[2]
Mengertilah, Farah!
Tiada yang berhak ini baik dan ini buruk, sepanjang kita belum mengetahui dan menjalaninya. Berhentilah meng-klaim bahwa pacaran itu buruk dan tidak pacaran adalah cirri dari orang baik. Kamu tahu kan, tentang orang-orang yang selalu meng-klaim itu? Apakah kamu tidak melihat kalau mereka itu selalu menganggap dirinya orang bersih dan seakan orang lain itu menurutnya adalah kotor? Tentu tidak begitu, Farah. Masih ada hal-hal yang harus kamu pelajari tentang pacaran. Pacaran itu dibolehkan dengan beberapa alasan yang jelas. Jika kamu ingin tahu, ke sinilah. Aku akan selalu menunggumu kembali. Dan setelah itu, aku akan memberitahumu, mengapa aku mengajakmu pacaran dengan cara yang tidak biasa?  



[1] Azzura Dayana; Rumah Fosil, hal. 14

[2] Azzura Dayana; Rumah Fosil, hal. 119
Baca selengkapnya